Episode 1, SERIAL KAY & ARZA
“Lo tau apa yang gw nggak suka dari orang-orang di lingkungan kerja?” Ujarnya sambil menyeruput kopi. Gw sengaja diam, menanti kelanjutan pertanyaan yang bakal dia jawab sendiri.
“Muka dua.” Dua kata itu keluar dengan intonasi datar. Tapi, matanya serius tingkat dewa.
“Di mana-mana gitu kali. Bahkan yang sering kejadian mah, muka dua itu bukan hanya di lingkungan kerja. Bisa pada kondisi apa saja kali. Gw pernah ngomong ginian sama teman gw. Itu namanya On Off Switch Personality. Ketika lo akan menjadi seperti begini dan begitu sesuai kondisi.” Balas gw.
“Muka dua dengan On Off Switch Personality dalam lingkup ini mungkin beda, Kay. Kita pernah ngomongin ini sebelumnya.”
“Maksudnya?” Gw menegakkan posisi duduk sesuai sandaran kursi jati coffee shop favorit kami ini.
“On Off Switch Personality itu kayak lo pas lagi volunteer dan lo bersikap sebagai kakak buat adik-adik lo. Tapi, pas kerja di kantor, lo bersikap sebagai karyawan. Tapi, di dua dunia itu karakter yang lo tunjukkan sama. Jujur misalnya.”
“I got your point. Tapi, kalau balik ke pertanyaan pertama. Tentang muka dua. Gw sih bingung dengan orang-orang kayak gini, Za. Apa ya? Menurut gw, itu nggak masuk di akal.” Gw mulai masuk dalam keseriusan Arza.
“Lah, lo geblek. Ya buat menarik perhatian bos lah.” Jawabnya spontan.
“Emangnya karir lo bakal bagus kalau didapat dengan cara begitu? Lo sukses dengan cara menjatuhkan teman lo, merasa menang, terus bangga?”
“Yang sering gw denger, itu sih normal sebagai manusia. Sikap iri..ya walau emang kadang kejam dengan bermuka manis di depan, lalu menusuk dari belakang. But, actually gw nggak suka.”
“Itu yang salah. Kenapa harus dianggap normal? Lo mau bunga mawar yang lo tanam berbunga mekar dengan baik, tapi malah melihat-lihat bunga tetangga sudah mekar atau belum. Lo lalu lupa nyiram dan ngasi pupuk, sampai akhirnya bunga lo sendiri mati. Lalu, lo diam-diam mengambil bunga tetangga lo yang hampir mekar. Dan lo senang karena hanya menunggu kuncupnya mekar. Tapi, lo nggak tau apa nama pupuk yang dikasi tetangga lo itu. Lo juga nggak tau aturan nyiramnya. Lambat laun mungkin memang bunganya bisa mekar, kalau memang lagi musim penghujan. Nah, kalau enggak? Itu bunga bakalan mati. Pun mekar dan indah, setelah itu lo tetap nggak tau gimana merawatnya. Karena lo hanya fokus pada hasil. Sama warna merah yang lo suka.”
“Dahsyatttt. Tumben lo bener.”
“Sial. Otak gw lagi bener ni.” Arza malah meledek.
“Gw paham. Lo menganalogikan warna merah itu sebagai kesuksesan dan mawar sebagai prosesnya.”
“Ya, keindahan merah sebagai sukses. Tapi, mawar…gw lebih memilih itu sebagai hati.”
“Iri itu merusak hati yang jadi sumber senyum dan bahagia. Buat apa sukses diluar, tapi hati lo mati? Itu namanya bahagia semu. Dan sukses kayak gitu, menurut gw nggak logis.” Gw melanjutkan.
“Okay, kalau lo jadi orang yang bunganya diambil diam-diam, lo mau ngapain?”
“Yaudah. Pelihara bunga lagi lah. Kan gw udah tau caranya. That simple.”
“Kalau bunga yang lo pelihara dikasi racun sama tetangga lo, dan mati. Lo diem aja gitu?”
“Diam dan tidak berbuat apa-apa itu beda.”
Gw menarik nafas lembut, lalu menyeruput latte di atas meja.
“Gw diam, tapi gw memelihara bunga yang lebih banyak dengan cara yang lebih baik. Pilih pupuk yang lebih baik, dan belajar penyiraman yang lebih baik juga.” Gw melanjutkan.
“Tapi, realisasinya nggak semudah itu, Kay. Gimana coba ‘bertahan’ dalam kondisi seperti itu?”
“Kalau bisa belajar, kenapa malah mikir tentang ‘bertahan’? Emangnya lagi perang? Kalau ini perang atau simplenya pertandingan, kapan lo menangnya? Abis menang, ada musuh lagi. Ada lagi. Ada lagi. Kapan lo bersyukurnya? Kapan bahagianya?” Gw menghela nafas.
“Ini kali yang namanya hidup itu pilihan.”
“Maybe..”
“Terus, lo udah menentukan pilihan hidup lo untuk stay sama gw nggak?”
“Arza!”
“Hahahaa…” Dia mengacak-acak rambutku dengan tawa lebar.
���������� nice!!
Woy, Ka Irham..apa kabar lo?
Thank you by the way.. 🙂