Zia
Buatku, cinta itu bahagia. Sejauh ini, aku bahagia bersama Ale, lelaki yang sebentar lagi menjadi suamiku. Ale mencintaiku tanpa syarat. Perlahan, dia mampu membuatku lupa pada Reihan. lelaki yang kugilai bertahun-tahun. Kuakui, kadang aku masih menulis puisi untuk cinta pertamaku itu saat larut. Tapi, bukankan melupakan cinta pertama bukan hal mudah? Aku memilih berdamai dengan diri sendiri, dengan menerima cinta dari lelaki yang menyayangi dengan tulus daripada memendam rindu yang tak pernah terbalas. Aku lelah, dan aku memilh untuk bahagia.
Skripsiku berjalan lancar, bersamaan dengan buku pertama yang kurilis. Dan, aku sebentar lagi akan menjalani prosesi pernikahan. Orang tuaku bangga, teman-temanku mendukung luar biasa. Semua berjalan baik-baik saja. Tapi, aku merasa kakiku lelah, dan aku ingin diam saja.
Alfa, aku harus menelepon Alfa. Setidaknya untuk memberi kabar tentang bukuku yang sudah terbit. Tiga kali telepon, tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang sibuk atau sedang berkencan Aku hafal kelakuan sahabatku itu. Dia akan menelepon balik, pikirku.
“Ya, kenapa Zia?”
Benar, dia meneleponku sejam kemudian.
“Kangen.”
“Hmm, ada apa?” Tanyanya.
“Buku gw udah terbit loh.”
“Udah gw beli.”
“Seriusan? Wahh..”
“Hmm.”
“Dia minta gw jadi istrinya. Doain ya. Abis wisuda, gw nikah kayanya. I’m getting married, Alfa.“
Telepon ditutup begitu saja. Mungkin baterai teleponnya habis.
Sya, gw lagi di jalan. Lanjut whatsapp aja ya.
Alfa
She is getting married. Dia bukan perempuan yang mudah mengungkap cinta, apalagi menjadi menjawab ajakan menikah. Perlahan tapi pasti, aku akan baik-baik saja. Aku akan menhapus memori ini. Aku tak ingin mengingat percapakan ini. Aku akan berhenti mencintai Zia.
– 2 bulan kemudian –
Zia
Apa sebenarnya arti cinta? Aku tahu dengan pasti siapa yang kurindu. Aku sadar dengan betul siapa pemilik cinta ini. Reihan. Lelaki tak tahu diri yang kucinta mati-matian, namun pergi sejauh-jauhnya tanpa membalas rindu ini, sedikitpun. I’m getting married. Berkali-kali kuulang kata itu bagai sabda. Mengingatkan kebodohanku berulang-berulang, bahwa ini seharusnya tak nyata. Mati-matian kulupakan dia yang sedang berada di negeri sana, semakin mati pula hati ini untuk berpaling arah.
Aku meraih telepon, mencari nama Alfa di situ. Ah, tidak. Aku tidak boleh meneleponnya. Mendengar nama Reihan dari mulutku, dia pasti tahu benar rindu ini masih menyiksa. Alfa tidak pernah tahu bertemu Reihan. Tapi, dia saksi paling kuat dalam kegilaanku merindu cinta pertamaku sejak bertahun-tahun lalu itu.
Jika aku harus memutuskan sesuatu, tak boleh ada orang lain yang menjadi pemicu. Ini hatiku, milikku. Aku pula yang harus memilih. Tetap merindu atau membangun cinta yang baru.
Alfa
Nama Zia tak pernah muncul di layar ponselku lagi. Aku bahkan lupa, kapan terakhir kali kudengar suaranya. Tapi, jika aku harus memilih mendengar suaranya menyebut lelaki lain dengan rindu yang dalam atau harus merindu suaranya seperti sekarang, aku lebih suka pilihan pertama.
Satu yang kusadari, Zia bukan untukku. Berkali-kali aku mengutuk diri sendiri karena selalu memikirkannya, tetap tak kutemukan namaku di hatinya. Aku pun harus segera menikah. Ini bukan tentang aku yang sedang putus asa. Aku hanya bersikap baik pada hatiku sendiri.
Dalam setahun, dua gadis menyatakan bersedia menjadi istriku. Aku kira itu mudah, tapi aku selalu gagal. Iya, aku selalu gagal. Zia masih sering menjadi alasan kami bertengkar. Mulai dari aku yang tanpa sengaja menyebut namanya di Tebing Keraton, atau ketika aku membuka buku karyanya dan menceritakan siapa dia. Tak satupun dari mereka baik-baik saja ketika aku menyebut nama Zia. Sialnya, aku tak mampu menjelaskan lebih jauh. Aku memilih diam.
Aku harus berdamai dengan hatiku sendiri. Adelia, gadis yang kini di depanku. Kuberikan segalanya untuknya. Aku tak boleh gagal lagi.

– 6 bulan kemudian –
Alfa
“Al, gw mau ke Bandung. Minggu depan.”
Sekian lama tanpa suaranya, kini dia akan datang dengan bentuk nyata? Dalam tujuh hari ke depan dia akan berdiri di depanku? Gadis ini sungguh tak pernah membiarkan aku tenang. Sedikit saja.
“Mau dijemput jam berapa? Mau jalan kemana?” Aku menarik nafas dalam dan menyembunyikan kegembiraan yang meluap seketika.
“Hmm. Braga. Gw mau keliling Braga.”
“Ada apa di Braga?”
“Kemarin liat IG teman, dia foto-foto di sana. Kayaknya bagus.”
Zia masih gadis konyol.
“Oiya, by the way. I have a good news. I already have a girlfriend. Nanti sekalian aku kenalin ya.” Aku harus mengatakan ini. Aku janji sudah berdamai dengan hati ini.
“Ha?” Jawab Zia dengan nada kaget bercampur marah.
Lalu, kenapa Zia seperti tak suka?
“Siapa?” Tanyanya lagi.
“Namanya Adelia. Udah deket dari 6 bulan lalu sebenarnya. Tapi, baru official aja.”
“Official maksudnya?” Tanyanya dengan nada tinggi. Zia tak seperti biasanya.
“Iya, aku nggak pernah nembak dia. Dia deketin terus, ngasi kode terus. Bilang sayang duluan, malah. Aku juga mau-mau aja jalan sama dia. Daripada nggak jelas, ya mending aku tembak sekalian. Make it official.”
“Jangan! Don’t make it official.” Jawabnya tegas.
“Jangan gimana?” Baru kali ini Zia melarangku.
“Pokoknya jangan. Please. U always do what i say, right?“
“Iya. Tapi nggak kayak gini. Lo kenapa sih.”
“Jangan, Al. Please. I know, u love me. Don’t u?” Zia menjawab dengan kata-kata yang jelas.
“Iya. I do love u. Tapi nggak bisa kayak gini, Zia. Gw udah jalan sama dia. Lo yang bilang gw jangan mainin perasaan cewek lagi. Gw mau serius kali ini.” Aku mulai tidak paham, apa yang terjadi.
“Iya, tapi jangan sekarang Al. Jangan sekarang!”
“Iya. Tapi kenapa?”
“Gw lagi butuh lo sekarang.”
“Gw bakal tetap nganterin lo keliling Bandung, Zia. Gw masih tetap angkat telfon lo. Nggak ada yang berubah walaupun gw punya pacar. Gw masih milih lo buat jalan. Lo kenapa sih?”
“U love me, right? So, don’t do that. Kalau kamu beneran sayang sama aku, jangan pacaran sama dia.”
“What?”
“I LOVE YOU, ALFA.”
Aku mematung. Aku lalu menekan tombol Enddi ponselku.
Cerita sebelumnya: Suara Rindu #5