Entah ke berapa kali aku duduk menunggu senja di sini. Di tempat yang sama, pojok kursi yang sama, pesanan minuman yang sama, pose duduk dengan laptop yang sama, dan rindu yang sama.
Kamu apa kabar?
Aku masih bersikukuh dengan deadline yang sama seperti terakhir kali aku menulis surat untukmu. Aku menitipkannya pada Dewi Senja di waktu lalu. Apa kau menerimanya?Ku harap begitu.
Hari ini aku kembali menulis surat untukmu. Di bawah langit yang sebentar lagi senja, aku menarikan jemariku di dokumen khususmu. Tak ku acuhkan sebentar dokumen wajib yang bertengger manis disebelahmu. Aku hanya ingin sampaikan rindu.
Dulu, kemarin, sekarang, atau mungkin di masa depan. Kenapa masih kamu yang menjadi tokohku?
Hari ini, sahabat dekatku menyatakan aku adalah gadis paling tidak peka yang ia pernah kenal. Benarkah demikian?
Padahal aku tau ada manusia yang jauh lebih tidak peka daripada aku. Itu kamu!
Ahh, kenapa aku masih seperti ini wahai Dewi Senja?
Ku mohon jangan ceritakan keadaanku sore ini pada Dewa Malam. Aku takut ia akan memarahiku dengan sumpah serapah, atau malah mengutukku. Beberapa hari ini aku tidak menikmati coffee lattebersamanya. Aku sedang tidak ingin dibilang gila. Makanya, aku bermalam menikmati kopi di tempat lain yang tak bisa ia jamah dengan sayapnya.
Aku masih menghitung detik-detik menyedihkan kala kata itu mengiris perih hatiku. Kata yang tak pernah terucap mulutmu, tapi terbaca jelas di jendela matamu. Aku tak suka penyesalan yang kau tunjukkan di ujung mata itu. Aku tak suka cinta tak terucap di senyum bibirmu itu. Kenapa kau berlaku begitu?
Hari ini, aku ingin bilang pada Dewi Senja bahwa aku marah padamu.
Kenapa luka ini tak terobati sama sekali?Aku harus dicaci gila oleh Dewa Malam setiap hari. Dicibir sinisme oleh Dewi Pagi tiap kali membuka jendela pagi. Dan diajak menari oleh kurcaci dalam senyum datar yang tak ku mengerti. Aku benci!
Kamu, ku mohon menghilanglah di khayangan. Matilah di pelukan putri cantik yang ada di sana. Jangan pernah lihat ke bumi untuk sekedar memberi senyum padaku. Aku tau, kau tak punya sayap untuk menghampiriku. Aku tak suka itu.
Aku juga tak bisa meminta Dewa Malam untuk membawamu padaku. Dewa Malam membencimu. Aku tak tau kenapa begitu. Jadi, menghilanglah tanpa ragu. Jauh lebih baik kau lupa akan aku. Karena, aku pun berharap begitu. Aku tak suka rasa rindu yang melulu tak perlu, yang bahkan ku tau itu. Bisakah sedikit saja kau manghapus lukaku?
Cinta kita tak perlu ditulis. Tak perlu juga menghias folder di komputerku tiap kali aku menikmati senja yang sebenarnya kusuka. Aku tau senyummu, matamu, dan air wajahmu menyatakan hal yang sama seperti yang ada dihatiku. Tapi, kita sama-sama bodoh untuk mengakuinya bersama. Jadi, mari bantu aku melupakan ini semua.
Pun, jika yang kupikir tidak sama denganmu, bisa kah kau tetap diam seperti sekarang? Itu membuatku sedikit tenang. Mungkin.
Note: Cerita Senja Suatu Ketika adalah cerita fiksi yang dibagi menjadi beberapa cerita pendek.
Sebelumnya: Cerita Senja Suatu Ketika (Surat Ke-1)
Selanjutnya: Cerita Senja Suatu Ketika: Starwberry Tea (Surat Ke-3)