Aku sedang duduk menghadap macetnya Jakarta lewat dinding kaca bening yang bersih. Posisiku ada di lantai dua sebuah coffee shop pusat perbelanjaan yang hampir selalu ramai tiap kali aku memilih untuk menulis di sini.
Aku sudah duduk di sini sejak sejam lalu, memesan strawberry tea, dan menarikan jemari pada keyboard hitam yang sudah menjadi teman sehati. Iya, keyboard ini selalu mampu mengungkapkan isi pikiran dan hatiku tanpa henti. Dia siap dengan dengan segala ocehanku yang kadang sebenarnya bukan sesuatu yang ku ingini.
Hai, kamu!
Aku sedang menulis (lagi).
Disampingku, duduk seorang ibu dengan baju terusan berwarna kuning. Selain karena warna bajunya adalah warna favoritku, aku jatuh cinta pada lelaki yang sedari tadi duduk manis disampingnya. Dia bergaya rambut menyamping dengan poni yang sedikit jatuh menutupi setengah matanya yang berwarna cokelat muda. Kulitnya putih bersih, tanda bahwa dia tidak sering bermain dengan matahari. Wajahnya oriental Indonesia dengan senyum menawan. Aku suka.
Beberapa kali kulirik dia sambil tersenyum. Dan, seperti kebanyakan lelaki usianya, dia tersenyum kembali kepadaku. Aku kembali melayangkan senyum manis kepadanya saat nasi menempel di pipi kanannya. Ia menyomot nasi itu dengan tangan kanan sambil tersipu malu. Lucu sekali. Aku suka.
Aku teringat denganmu saat aku berkali-kali melempar senyum padanya.
Kau ingat saat kita duduk di taman kala itu? Ahh, aku tak ingin mengungkit angka tahun kapan terakhir kali aku duduk denganmu kala itu.
Kau ingat ada seorang anak lelaki usia 4 tahunan dengan kaos berwarna biru menangis karena balonnya terbang ke udara?
Kau dan aku aku dengan bodoh mengejar balon itu yang akhirnya tersangkut di ranting pohon mangga di ujung kanan taman. Dengan sigap kau memanjatnya dan aku menenangkan lelaki kecil itu dengan pelukan hangat. Kau dan aku kemudian saling pandang untuk waktu yang cukup lama ketika berhasil mengembalikan balon itu.
Kau tau apa itu telepati?
Ketika apa yang aku pikirkan sama dengan yang kau pikirkan. Kita tak butuh kata rapi yang tersusun dari kerjasama bibir, lidah, dan gigi untuk menyatakan apa yang ada di pikiran dan hati.
Kau dan aku. Di bawah senja kala itu.
Aku ingin tau apa yang kau katakan waktu itu padaku. Samakah denganku?
Wahai kamu!
Berbeda dengan lelaki kecil yang menangis waktu itu. Lelaki kecil yang duduk di sampingku ini sekarang sedang melahap ayam goreng dengan riang. Tapi, aku tetap teringat denganmu. Aku mengingat kata-kata yang keluar dari hatiku waktu itu. Aku rindu.
Kau ingat lelaki kecil senja waktu itu?Dia bermata cokelat muda, dengan potongan rambut yang sama, dan senyum yang sama. Aku suka.
Jika kau melihatnya di belahan bumi lain di sana, mungkinkah kau mengingat hal yang sama?
Gizsya
21.10.15 – 4.04 pm
21.10.15 – 4.04 pm
Note: Cerita Senja Suatu Ketika adalah cerita fiksi yang dibagi menjadi beberapa cerita pendek.
Sebelumnya: Cerita Senja Suatu Ketika: Masih Gila (Surat Ke-4)