Mungkin aku tak cukup lama menjadi satu penambah jumlah penduduk di Jakarta yang semakin padat ini. Terbukti, kesekian kali aku ke Monas tetap saja harus mengelilingi halaman Monas yang ampun luasnya itu demi mencari toilet atau tempat shalat. Dan kali ini, aku berkeliling Monas untuk menemukan patung orang sedang menunggangi kuda. Ampun! Satu jam aku dan tiga rekanku dibuat gempor oleh dua temanku yang sejak tadi menunggu kami di tempat itu.
“Wooi, di sini” Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pungggungku, Kak Reno rupanya. Wajahnya yang datar itu tak menunjukkan makna apapun. Jika wajahnya itu dijadikan tokoh sebuah komik, dengan rambut sedikit acak yang menutupi separuh wajahnya, aku yakin tokoh itu akan dikagumi banyak orang.
“Lah, kemana aja kalian? Dari tadi baru datang. Kakak dah bilang di deket terowongan masuk.” Nah, kali ini Kak Fara mendekati kami dengan wajah yang sangat mudah di tebak maknanya. Tidak datar, namun tidak begitu berwarna. Tapi tetap tak bisa menutupi wajah bawelnya.
“Kakak tadi bilangnya di terowongan masuk Tugu Monas. Ya, tu berarti itu!” Tanganku menunjuk tugu Monas dengan banyak antrian yang ingin melihat padatnya Jakarta alias naik ke puncak Monas. “Kami ya ke situ. Nah lho, siapa yang bahasanya ambigu? Ha?” Aku mencari pembelaan.
“Ha..ha..ha.. Jadi kalian ke situ segala? Ha..ha..” Yah.., ini kakak malah ketawa lebar.
“ Hehhh, jangan ketawa!” Lily dengan wajah sewot mengeryak Kak Fara.
“Kena lo..” Pikirku. Kedua kakiku telah menyatakan give up plus perut yang sedang berdisko sebab belum diberi asupan sedikitpun. Jadi, aku tak berenergi untuk melawan kata-kata Kak Fara lagi.
Satu jam , dua jam. Akhirnya rapat selesai yang sebenarnya belum tuntas karena ini dan itu. Namun, bukan karena kaki atau perutku yang sedang dalam masa kronis butuh asupan. Jam yang menunjukkan waktu makan siang, jika kami pulang dipasstikan jalan di Jakarta tak akan bersahabat alias macet. Alhasil, kami mencari makanan di pinggiran Monas. Sehabis makan kami pun berkeliling mencari tempat shalat. Inilah yang paling ironi.
Aku tak tau bahwa itu adalah tempat shalat. Ku lihat di tanda panah penunjuk jalan bahwa tempat yang seharusnya ada di depan mataku itu adalah mushalah dengan toliletnya. Namun, yang aku lihat adalah toilet dengan mushalahnya!
Hanya ada satu saf yang bisa diisi oleh sekitar sepuluh orang perempuan yang tak gemuk. Di tempat sejajar yang hanya dihalangi tembok setinggi dada, saf untuk pria tak jauh berbeda. Aku bahkan tak yakin tempat itu suci dan pantas untuk dijadikan tempat shalat. Kulihat, ada seorang pria di depan toilet yang aku yakin bertugas mengumpulkan uang dari pengguna toilet.
Tahukan kawan, dimana tempat yang dimaksud mushalah itu? Di belakang toilet! Sungguh dibelakang toilet! Tempat yang sebenarnya sisa teras toilet yang aku yakin akan terkena tampias hujan walau tak deras sekalipun. Tempat itu hanya berlebar tak lebih dari 1.2 meter dengan panjang tak lebih dari 2.5 meter. Sedangkan toilet itu? Luasnya mencapai 2 kali lipat luas kamar kostku yang cukup luas dibanding kamar kost teman-temanku. Lengkap dengan cerminnya dan lima kamar kecil. Aku terdiam cukup lama di tempat yang akan aku jadikan tempat shalat itu.
Yang paling membuatku begitu miris adalah kenyataan bahwa kiblat mengarah pada toilet itu. Bahkan, aku bisa mencium aroma tidak sedap dari toilet saat aku sedang shalat. Nonsense jika aku katakan aku bisa khusuk untuk shalat.
Dari situ, aku bisa melihat megahnya tugu Monas dengan tamannya yang begitu luas. Yang membuat kakiku gempor bahkan aku tersasar. Cukup luas, sangat luas!
Lalu, apakah benar tak mampu menyediakan tempat shalat yang layak? Inikah kondisi dimana penduduk muslimnya merupakan no 1 dunia? Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya, marah pada Monas, marah pada Jakarta!
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan tempat shalat itu. Memikirkan tak ada satu pun mukenah yang bisa digunakan dengan baik, memikirkan apakah shalatku tadi dibenarkan, memikirkan bahwa sekarang, aku tinggal disini! Di Jakarta! Tempat yang paling dipuji di Indonesia, yang paling di incar setiap komponen muda dan tua yang dianggap kota sejuta mimpi. Kota sejuta fasilitas!
Kesal yang mungkin berlebihan membuatku kakiku salah jalan. Aku dan teman-temanku yang seharusnya keluar lewat pintu utama, malah keluar lewat pintu belakang. Alhasil, kami tak tau entah berada dimana. Bagaimana harus mencari Kopaja 20? Kami tak tau. Jika harus kembali dan mengitari Monas kembali untuk keluar lewat pintu utama, tak ada satu pun dari mereka yang setuju. Begitu luasnya lah Monas!
“Ini Sabang, Kak” Arni tiba-tiba terhelak. Kaki telah membawa kami sampai Sabang. Tak akan ada Kopaja 20 yang akan melewati jalan ini.
Tersasar mencari 20, membuat kami harus berjalan sampai Patung Pak Tani. Betisku semakin besar, itu logika yang mencapai kenyataan. Ya, kami berhasil menemukan si 20 itu setelah 2 jam!