Kerja Bukan untuk Rupiah, tapi Ibadah

Postingan ini gw khususnya untuk sahabat baru yang kenalan via email, yang katanya doi suka baca isi blog gw. Hahaha. Semoga dia nggak jadi korslet kayak gw gara-gara keseringan baca postingan yang topiknya suka ngalur ngidul. Kira-kira, beginilah isi email doi..
Yup, I am an accountant, actually I work for K**G. U must be aware of K**G:auditor. But the thing is I am still not 100% auditors. Some of me are belongs to passion fantasy. It’s dilemma, drain my energy coz so much time think about it. Haha
My question is, how do you handle with this? I mean shifting from accounting as ur background to journalism. How u answer ur mom, if she ask u what job would you do? Does she understand about what ur talking of ur own world like journalism, or blogging, that is not ur background, and doubtful to creat money? 

Sebenarnya, pertanyaan yang membuka diskusi gw bareng dia ini juga terjadi dibanyak teman gw. Dan, alhamduillah gw udah liat realita hidup auditor di kosan. Entah takdir apa gw masuk di kosan sebagai penghuni paling muda dengan kakak senior yang notabene pintar dan populer di jurusan-angkatannya.
Sebut saja Park Shin Hye. Dia auditor di salah satu Big Four Indonesia. Berangkat jam 7 pagi, pulang jam 2 malam. Paling cepat juga jam 10 malam. Nah, tiap pulang lewat depan kamar gw, nggak pernah senyum. Sapaan gw selalu dijawab, tapi dengan muka yang penuh lelah. “Hai Kak Shin Hye.. Baru balik?”| “Iya, biasa dek, lembur.”
Sebut saja Kak Krystal Jung. Dia auditor di salah satu Big Five Indonesia. Kalau yang ini, seringnya ke luar kota. Jadi, kosan sebenarnya jarang dia huni. Kalau lewat depan kamar, seringnya sapaan gw dijawab cukup sumringah. “Hai Kak Krystal. Bawa koper mau kemana lagi kali ini?” | “Ngaudit ke Yogya gw. See you, Sya.”
Sebut saja Lee Min Ho. Dia social media specialist,nyambi jadi penulis juga. Berangkat jam 7 pagi, pulang jam 2 malam. Tapi, kadang-kadang juga pulang maghrib atau nggak pulang sekalian. Nah, tiap pulang lewat depan kamar gw, kadang senyum kadang nggak. Mungkin karena dia sok cool. Sapaan gw selalu dijawab ledekan. “Hai Kak Min Ho. Udah pulang nih.” | “Ape lo,,ape lo.”
Ketiga orang itu punya penghasilan (yang menurut gw) hampir sama. Jam kerja pun bisa gw asumsikan beda tipis. Hanya, lingkungan kerjanya saja yang beda banyak. Nah, apa yang membuat senyum Kak Shin Hye, Kak Krystal dan Kak Min Ho beda?

Hai kamu. Yuk kita diskusi..
Tiap orang punya defenisi yang beda tentang hidupnya. Tiap kehidupan pastinya menuju kata ‘bahagia’. Nah, bahagia itu sendiri kembali punya banyak defenisi dan makna. Kalau nggak, ngapain om Eric Weiner sampe keliling dunia untuk mencari makna bahagia itu. Tiap apa yang kita lakukan pasti ingin menuju kata bahagia. Termasuk kerja untuk mencapai kebutuhan finansial tertentu. Nah, apakah kerja itu hanya untuk menghasilkan rupiah?
Lalu, tentang prioritas hidup. Prioritas ini ditentukan juga oleh usia. Ada yang pengen biayain orang tuanya ke Mekah, ada yang pengen ngumpulin tabungan untuk jalan-jalan ke Macau, ada yang untuk pembuktian kepada orang tua bahwa dia cukup mandiri dan sukses, ada yang harus nerusin bisnis keluarganya, atau bahkan ada yang prioritasnya nyari jodoh. Maka, pemaknaan kerja ini pun juga dipengaruhi prioritas hidupnya. Skala prioritas ini kita yang punya, maka kita juga yang tau pasti. Bukan orang tua, apalagi orang lain.
Jika pekerjaan yang dijalani sekarang menuju prioritas utama, maka bersyukurlah. Jika tidak,  tetap juga harus bersyukur. Karena, setidaknya lo nggak masuk statistik pengangguran Indonesia. Lalu, gimana kalau gaji gede, tapi nggak sesuai passionSya? Tiap mau berangkat kerja, pengen segera jam lima sore.
Actually, gw juga pernah sih dalam posisi ini. Apa yang gw lakukan? Resign!Hahaha. Ya, karena prioritas hidup gw yang utama bukan untuk menghasilkan rupiah sebanyak-banyaknya. Daripada kreativitas mati, ya gw mencari jalan lain menemukan kerjaan yang bikin gw senang melihat fajar dan senja. Tapi, pilihan gw ini sebenarnya terlalu terburu-buru.
Nah, kalau kerjaan itu udah mengarah pada prioritas hidup, mending dinikmati. Mana enak bertengkar sama fajar tiap hari. Mending berdamai. Sapa fajar dengan senyuman, ajak seluruh syaraf menikmari hari. Toh, kalau kondisi hati dan pikiran enak, kreativitas tetap jalan. Kalau kata Papah Aidh Abdillah, mulakan dengan syukur. Hehe..
Kalau nggak bisa menikmati gimana? Hmm, love it or leave it. Bicarakan dengan orang tua dari hati ke hati. Ridho Allah kan atas ridho orang tua. Bahagia anak memangaruhi bahagia orangtua, pun sebaliknya. Beritahu kepada orangtua tentang rancangan pilihan lain yang menyenangkan hati, pikiran, dan badan. Kasian kalau badan dan pikiran dipaksa mengerjakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sakit batiniah toh lebih menyakitkan daripada sakit lahiriah. Bahkan, dengan tertekannya batin, bisa memengaruhi kesehatan badan. Gitu sih, kata dokter dan psikolog. Kita sering lupa, bahwa menyakiti diri sendiri juga bentuk dzalim. 
Toh, kerja bukan melulu tentang rupiah. Mungkin Jakarta sering membuat kita lupa bahwa tujuan manusia hidup itu untuk ibadah. Bahkan, metropolitan sering juga membuat ambigu makna bahagia. Bismillah, apapun kata mereka, hidup kita yang punya.
Disclaimer: Ini diskusi kondisi usia muda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *