Filosofi Uang

Cuman pengen berbagi cerita dari kuliah gw hari ini (ups, kemarin maksud gw, secara ini udah pagi). Jarang-jarang gw dapat dosen (yang beliau sendiri ogah dipanggil dosen) yang memberi banyak celah buat tiap mahasiswa/i-nya mikir setelah keluar dari kelas bersuhu hampir di bawah 20 derajat itu. Kalu gw sebut inisialnya “A”, gw yakin seantero kampus tau nama panjang beliau! J
Ini judul gw ambil dari intermezzo beliau waktu mengajar dikelas. Jangan lo pikir mata kuliah gw itu Filosofi Uang. Matakuliah gw malah Financial Statement Analysis yang belajar bagaimana cara menganalilis laporan keuangan dengan segudang tools dan metode. Dan ini bener-bener kuliah!
Dipikir-pikir, kalau dikelas kita juga ngebahas apa yang ada dibuku pegangan mahasiswa yang dikasi kampus dengan sukarela (maklum kampus gw tajir),apa donk bedanya kita sama anak SD? Buka buku, latihan, PR. Toh kita udah gede untuk nyadar sendiri buat baca buku! Sambil dengerin pengamen di metromini juga bisa kan ya baca buku atau lihat slidenya dari HP? Esensi kuliah kayaknya lebih tepat kalau kita mempelajari ilmu korelasi matakuliah tersebut dengan lingkungan dan kehidupan. Toh, semuanya kembali kesitu kan ya? (Gw mulai ngawur). Oke, back to the topic!
Gw udah pernah bilang kan ya, kalau ditiap matakuliah gw di  kampus pasti nyebutin satu kata, yaitu UANG! Kalau biasanya kata itu menjurus pada perhitungan, kali ini bukan donk.
“Eh, lo punya duit seratus rebuan, nggak?” Dosen gw malak salah satu mahasiswi cantik yang duduk paling depan, sebut aja Mawar.
“Ada yang lima puluh rebuan, nggak?” Buset, ni dosen keliatan eksekutif eh malah minta duit lagi ke temen gw. Gw yang duduk tepat di samping Mawar cuma nunggu kelanjutan kisah itu duit.
“Ada yang dua puluh rebuan nggak?” Hadeeh, kasian si Mawar. Dia ngerogoh dompetnya pasrah. Kita yang lain terpaku melihat kejadian tersebut. J
“Oke, sepuluh rebuan, lima rebuan,…serebu..serebu..” Dosen gw udah kaya kenek kopaja aja dah tu. (Kenek intelek yang meng-intelek-kan gw dan teman-teman gw)
Kelar  ngumpulin duit mulai dari Rp 100.000 sampe Rp 1.000, beliau menunjukkan duit tersebut satu persatu persis kayak lagi penyuluhan uang baru supaya masyarakat tidak teripu dengan uang palsu.
“Yang ini, foto siapa?” Mr. A menunjukkan uang warna merah bernilai seratus ribu rupiah.
“Soekarno-Hatta.” Jawab kami serempak.
“Coba, die orang mane?”
“Indonesia.”
“Itu gw juga tau! Dari mana maksud gw?”
“Jawa, Pak.”
“Nah, orang jawa nilainya seratus ribu?”
“(Glekk..) *^/##…”
“Yang ini?” Dosen gw menunjukkan uang lima puluh ribu rupiah,
“I Gusti Ngurah Rai.”
“Berapa tuh nilai orang Bali?”
“Lima puluh ribu.” Jawab kami berbisik, rada bingung.
“Nah, Otto Iskandar, orang Bandung nilainya dua puluh rebu…..” Begitu seterusnya.
Setelah dosen gw mengembalikan uang tersebut kepada si Mawar, beliau cengar cengir melihat ekspresi kami. Ada yang muka datar, ketawa, tersenyum, tersipu malu, dan wajah kelaparan (belum sarapan).
Nah, sakit hati nggak lo kalau lo ternyata orang Ambon yang diwakili oleh Kapten Pattimura? Nilai lo cuman serebu dah tu kalau sesuai filsafat gambar pahlawan di alat tukar sah negara tercinta kita tesebut. Beuh, bisa makin kekeuh aja deh orang Ambon buat musuh-musuhan. (Untung gw orang Jawa!)
Nah, pas lo dalam keadaan gw, pasti yang lo inget adalah suku dan pahlawan daerah lo. Ya, kan?
Nah, kalau lo pernah nonton film trilogi Merah Putih, Darah Garuda, dan Hati Merdeka pasti lo bisa ngebayangin gimana Lukman Sardi (Amir) yang berperan sebagai sebagai orang Jawa Teuku Rifnu Wikana (Dayan) sebagai orang Bali, Donny Alamsyah (Tomas) sebagai orang Kalimantan atau Darius Sinatarya (Marius) sebagai orang Jakarta. Meraka semua dari latar belakang yang berbeda dengan semangat nasionalisme yang tinggi luar biasa untuk meraih kemerdekaan.
Keringat, tangis, dan darah yang dikeluarkan pahlwan negara kita sama, bukan? Terus, kenapa proklamator harus mendapat nilai tertinggi? Toh, perjuangan seluruh Indonesia yang membuat kemerdekaan tersebut? Bukankah ini jadinya kastalisasi?
Kok esensi Bhinekka Tunggal Ika yang kita anut menjadi pudar? Oleh benda yang tiap hari kita pegang lagi?
Yaelah Sya, cuman gambar doank..
Iya, emang cuma gambar. Tapi bisa jadi refleksi negara kita donk. Toh, ‘sesuatu’ yang menampilkan wajah tersebut merupakan kebutuhan paling nyata  buat semua manusia.
Hmm, kenapa harus beda-beda gitu yak? Satu gambar aja donk? Yang penting nilainya jelas. Kalau gambarnya beda-beda gitu kan bisa buat orang ngawur kayak gw (disponsori oleh dosen gw) jadi bikin filosofi sendiri?
Et di en, “UANG bukan segala-galanya. Tapi segalanya butuh UANG!” J
NB: Keluar dari kelas, lo jadi punya ‘analisis’ sendiri kan tentang UANG? Korelasi tarik menarik donk sama Financial Statement Analysis. By the way, masih banyak lagi ide postingan dari kelas beliau. Wait for the next post. Love this class.J

4 Comments

  1. ^_^ Ngga pernah kepikiran yang beginiaaaan…. Hehehehe… Kalo orang Aceh nilainya berapa yak? (inget-inget mata uang gambar Cut Nyak Dien yang udah ditarik). Tapi dipikir-pikir juga, kalo gambarnya sama, entar salah lagi soalnya bisa bikin keder, kecuali warnanya dibedain… Orang gue aja dulu kayaknya pernah deh nyaris ketuker $.10,- sama $.100,- gara-gara warnanya sama-sama ijo..wkwkwk..untung double cek, kalo nggak bisa kena SP 1 dari mantan manager dulu di GHB. Jarang-jarang nih mampir di beginiannya Gizsya 😀 kebetulan lagi buka Fb, kebetulan habis ngepost di TOKO ONLINE gue, kebetulan baca sederet tulisannya Gizsya yang bikin gue sukses penasaran… Well done, darling! ^_^b

  2. kan bisa kalau di bikin warna yang banyak jenis. Toh ada 12 warna umum yang biosa jadi ribuan warna kalau di kombinasi.
    Kalau gini kan, bsa jadi org malah berpersepsi kalau orang Aceh nggak dianggep lg? (org ngawur)

    Thx Mbak..

    i'm waiting for ur another comment on my next posting..:)

  3. Dua poundsterling gambarnya Elizabeth II. Bapak tersebut terjebak sama yang namanya teori konspirasi. Rasio memaksakan pola palsu atas data yang masuk dan berusaha menyesatkan dunia luar sama teraturnya dengan dunia di dalam diri kita. Pernahkah anda merasa jika ada suatu peristiwa dahsyat, manusia memandang peristiwa tersebut sebagai pembenaran atas apa yang selama ini mereka yakini kebenarannya? Rancangan cerdas sama dengan teori konspirasi: contoh lain kecenderungan rasio untuk berlebihan..membuat keterkaitan yang sebenarnya tidak ada.

    Wakil Presiden pertama kita Moh. Hatta berasal dari Sumatera Barat. Jika mau mengandaikan simbolisasi dominasi suku pada uang, Soekarno sebenarnya bisa diperdebatkan untuk berada di uang 100 ribu. Soekarno dulu dekat PKI, 'sumber' kebencian masyarakat di tahun 1965 dan mengakibat petinggi militer banyak dibunuh. Berdasarkan ini, orang bisa berargumen kontra terhadap adanya Soekarno di uang 100ribu tersebut. Toh sekarang gambarnya tetap ada.

    Jadi, dengan mengetahui bahwa Soekarno proklamator kita memberi penghargaan, tapi kita berkoar sebuah teori konspirasi mengenai orang jawa di uang 100ribu, yang tidak lain Soekarno? Menghargai perjuangan sekaligus mendebat sukunya? Bapak tersebut menurut saya rasis, atau terlalu lama tinggal di luar negeri.

    Mengenai kastanisasi, jangan dianggap buruk semata. Kita terjebak semangat primordialisme dan dalih semu mulitkulturalisme dengan mendebat yang tidak perlu. Kalau orang Jawa memiliki kekuatan lebih di masa sekarang ini, itu hanya berarti sesuai prinsip multikulturalisme dan demokrasi bahwa orang Jawa memiliki tanggung jawab sosial terhadap suku lain di negara ini. Diperlakukan sama tidak berarti adil.

    Menghubungkan suku dengan nilai mata uang seperti di atas adalah sesat. Tidak semudah itu hubungannya dikatakan seperti bapak tersebut. Kita semua yang lalai terhadap sejarah tidak berhak mengatakan ada hubungan seperti itu.

    Saya mengacu pada sedikit teori konspirasi dibaca dari kebebasan Immanuel Kant, dan mengenai perlunya sains tentang sejarah, saya mengacu pada materialisme dialektis Karl Marx.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *