Kehidupan Pasca Skripsi: Lanjut S2, Kerja, atau Nikah?

Finally, zaman begadang dan bersitegang gara-gara tulisan lima bab alias skripsi terlewat sudah. Kontrak gw sama konglomerat besar Indonesia sebagai salah satu penerima beasiswa di ibukota hampir selesai. Tinggal menunggu acara seremonial bernama wisuda. Dan, kepala gw dipenuhi berbagai rencana hidup baru. Bukan hanya tentang mengejar mimpi, tapi tentang kenaikan tangga hidup yang semakin tinggi. Aaaaah, bahasa lo, Sya!
But, actually I really sleep on it. Have been thought about it every night. What should I do first?
Udah sekolah sampai tahap ini. Mulai dari sekolah yang diantar jeput nyokap, ditungguin, ditanyain PR nya, sampai sekolah yang kalau sakit nangis sendiri karena nggak ada nyokap di samping gw. Udah 17 tahun euy! Dan, di detik-detik ini sering gw mikir apa yang udah gw kasi ke nyokap bokap.
Nothing!
Oke, mungkin kata nothing ini keluar dari pikiran seorang anak. Namun, orang tua sudah sangat bangga melihat anaknya memanjangkan nama dengan 2-5 huruf diakhir nama alias titel. Tapi, pada tahap ini juga sering gw mikir, pada detik-detik ini juga gw akan ‘jauh’ dari orang tua. Kenapa?
Pertama, lanjut S2!
Udah S1, nggak salah donk kalau lanjut S2? Kan harus menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kedua, kerja!
Abis sarjana, ya kerja! Absolutely right!Ini saatnya untuk gw bisa gantian ngejajanin bokap nyokap. Sebelum sarjana sih emang udah pernah, minimal pas ulang tahun. Tapi kan pengen yang lebih gede. Anak mana sih yang nggak pengen ngasi hadiah ke orang tua?
Ketiga, nikah!
Udah kodrat kali ya. Umur udah kepala dua. Sekolah udah 17 tahun. Ya, emang begitu kehidupan manusia.
Dari ketiga planning ini, yuk kita mikir bareng-bareng.
Udah S1, nggak salah sih nyambung S2. Tapi, gw sering mikir dua kali. Kenapa? Dulu, zaman kuliah semester 1, dosen gw pernah ngasi pesan khusus untuk mahasiswi supaya nggak langsung melanjutkan S2. Mungkin pemikiran ini beda sama abang gw (anak laki-laki)  yang emang penting untuk melanjut sekolah  ambil spesialis demi tanggung jawabnya sebagai pasukan putih-putih montir manusia. Jadi, mungkin karena didikan kampus yang arahnya ‘bisnis’. Kami disuruh untuk mencicipi dunia kerja terlebih dahulu daripada lanjut S2. Realisasi ilmu S1 kali ya..
Sang dosen juga bilang ke kaum mahasiswi untuk menikah terlebih dahulu setelah S1. Karena, fenomena sekarang banyak perempuan yang tidak menikah sampai usia lebih dari 30 tahun karena sibuk didunia kerja yang pergi pagi pulang malam. Oke, ini sih untuk dunia metropolitan. Dan…, gw berada di kota paling metropolit di Indonesia. Hmm, emang banyak sih buktinya.
Lah, terus pilih yang mana donk?
Mungkin, ada baiknya balik ke mimpi yang udah pernah ada sebelum kuliah. Dan, pilihan ini tentunya berbeda-beda. Untuk mereka yang sekolah dibidang medis dan pendidikan, ada baiknya berpikir melanjutkan sekolah. Atau, untuk mereka yang merasa salah jurusan waktu kuliah S1, nggak salah juga untuk kuliah lagi dijurusan yang mereka inginkan. Tapi…kembali lagi ke individunya.
Buat apa sih hidup?
Kalau kerja, yaaa pasti sih. Minimal mengerjakan hobi yang ingin dikembangkan dan menghasilkan rupiah. Atau mengejar perusahaan bonafit yang diidamkan. Atau memulai usaha dengan pinjaman modal. Banyak pilihan.
Nah, tentang nikah. Kodrat manusia yang satu ini mungkin beda dengan dua pilihan sebelumnya yang bisa kita kerjakan dengan keputusan logika. Untuk urusan nikah, udah ada ketentuan dari Sang Maha. Kalau jodoh udah ada di depan mata, ya monggo. Malah nggak baik kalau ditunda. Kalau jodohnya belum keliatan, ya  perbanyak tahajud. Untuk urusan yang satu ini, benar-benar cuma Allah yang tahu.
Nah, so what should we do first?
Kalau gw, milih berlama dikampung halaman. Nggak setahun juga sih. Secara, gw masih punya tanggung jawab di atas kertas sama kantor. Gw cuma pengen curahin kangen sama orang tua karena udah 4 tahun nggak tinggal serumah. Ketiga pilihan yang ada didepan mata, mengharuskan gw tetap ‘jauh’ dari orang tua nantinya. Jadi, untuk memilih yang mana yang harus dilakukan terlebih dahulu, gw putuskan atas dasar keinginan orang tua. Haha, anak manja banget yak. Tapi, ya gw emang sangat percaya kalau pilihan bokap nyokap nggak pernah salah. Udah ketentuan Allah kita nyampe di rahim ibu kita. Jadi, selama masih jadi tanggung jawab orangtua, gw mah selalu berdiskusi dengan keduanya tentang masa depan. Toh, masa depan kita juga untuk membahagiakan kedua orang tua, kan?
Dan, dari semua itu yang paling gw syukuri adalah..
“Ya Allah, terimakasih telah Kau tentukan aku menjadi anak dari orang tua sehebat mereka.”
Kisaran, 28 Agustus 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *