May I Say that Life is A Game?

Let’s begin. May we say that life is a game,Kak..? Tanya gw lugu tanpa memindahkan fokus mata dari novel digenggaman gw.
“Boleh-boleh aja. Tapi bagi kakak hidup adalah simulasi.” Kak Aleira menjawab datar.
Hmm, simulasi for what? Being what?” Gw menutup novel, mencari dua bola mata Kak Aleira.
“Hidup itu ujian.” Masih datar.
“That’s totally different. Simulasi itu untuk persiapan buat sesuatu yang urgen. Nah, ujian itu untuk mengukur kemampuan. Isn’t it? Any objection?”Ada ruang pertanyaan besar tiba-tiba mengulum di saraf sensoris.
Hidup di dunia itu nggak sejati, Nei..” Lagi. Ia datar.
“Hmmm.., Yap. Hidup di akhirat itu sejati. Then?” Gw coba merangkum.
“Hidup itu medan pertempuran.”
“Simulasi, ujian, terus medan pertempuran. Make me confuse,Kakaaa..” Gw mengambil buku berjudul La Tahzan ditangannya. Berharap dia juga akan mencari bola mata gw.
“Bagus. Berarti mikir. Hehehe…” Kak Aleira malah mencubit pipi gw. Dasar…
“Glekk #/*#..,”
“Then, lahan bercocok tanam..!” Kali ini, dia menatap mataku tajam.
More? Which one is the most, please..”
“Pahami dulu,,” Dingin…
“Hidup itu penuh ujian layaknya medan pertempuran dengan banyak tantangan. Bukan menang atau kalah, terlebih adalah simulasi kehidupan sejati yang hakiki. Harus ada persiapan yang kita tanam agar pertempuran berjalan lancar. Isn’t it? Terus, apa yang harus kita tanam?”
“Terserah. Boleh jamur beracun…, atau zaitun yang manis..” Jawabnya, setelah melepas tatapan tajam dari muka gw. Seakan telepati. Lalu dia mengambil bukunya, berlalu pergi. 
Sebagaimana cara memandang apa itu kehidupan, demikianlah kehidupan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *