Kita Tak Sama

Namanya Budi. Jangan tanya seberapa besar cintanya padaku. Pun harus terdefenisi, aku tak mampu menampung apalagi membalas cintanya.
Namanya Budi. Jangan tanya mengapa dia mencintaiku. Pun harus terdefenisi, aku tak mampu percaya alasan dia mencintaiku.
Namanya Budi. Aku ingin menceritakan bagaimana dia mencintaiku.
Aku merasa diintai. Kapanpun dimanapun. Ku kira itu hanya halusinasi. Tapi, tidak. Dia ada.
“Selamat pagi.” Katanya.
Aku baru saja terbangun dari tidur. Ku lihat sosoknya di dalam kamar tidurku. Berdiri tepat di depan lemari pakaianku. Aku ingat betul. Dia berpostur tinggi, menggunakan kaos putih, plus jaket hitam yang dia biarkan tak terkancing. Wajahnya putih dan ia selalu tersenyum padaku.
Ku kira hanya halusinasi. Lagi, malam sebelum tidurku dia tersenyum melihatku. Tetap berdiri disitu hingga aku terlelap.
Aku tak tau apa maksudnya. Ia hanya memandangku, tersenyum, lalu hilang. Kadang kembali, seraya mengingatkanku bahwa ia ada di sampingku.
Ku kira ia hanya akan muncul di kamarku. Tapi tidak. Hari ini, aku kuliah pagi. Matakuliah Mikroekonomi oleh dosen favoritku tak mampu ku cerna dengan baik. Ku lihat dia duduk di sudut ruangan, di saf duduk yang kosong. Ia duduk tepat di tengahnya. Memandangku tanpa kedipan dan berpakaian sama seperti biasa.
Aktivitasku begitu padat, hingga kadang aku lupa makan. Di jam akhir siang atau malam, ada dia yang membisikkanku untuk makan. Tapi, ada yang aneh. Dia hanya muncul ketika aku sedang sendiri, tanpa teman-temanku atau siapapun. Dan, aku mulai terbiasa.
Terhitung bulan. Keberadaannya semakin mendekat. Bahkan aku melihat sosoknya di tempat tidurku. Tidur sambil memandangku, tepat di sebelahku.


Ada yang aneh. Aku merasa berbeda sejak kehadirannya. Aku semakin sering berkonsultasi ke dokter tentang kesehatanku. Tiap dokter memiliki diagnosa yang berbeda tentang semakin menurunnya kondisi kesehatanku. Bahkan aku harus masuk dalam mesin besar dengan nama MRI untuk mengetahui jelas  kesalahan pada tubuhku.
Aku semakin sering menelan berbagai macam tablet dan kapsul. Semakin banyak pula jumlah istirahat jam istirahat yang membuat berbagai kegiatanku kacau. Aku semakin sering  tidur dalam jumlah tak normal. Hanya karena alasan kondisi kesehatan tidak baik. Dan, aku semakin merasakan keberadaanmu.
Kau selalu berkata bahwa aku kuat. Kau selalu membisikkan bahwa kau akan selalu bersamaku. Ya, kau melakukan itu.
Ada yang tidak lazim dari diriku sejak mengenalmu. Aku semakin sering memilih sendiri. Aku menjadi pendiam. Dan kau seakan terus menghantuiku. Ya, menghantuiku.
Aku mampu merasakan kehadiranmu setiap saat. Di manapun itu. Dalam kondisi apapun. Ya, ku mampu merasakan bahwa ada kau yang selalu bersamaku.
“Kamu baik-baik saja.” Prof Dr Djoko menyatakan aku baik-baik saja setelah membaca hasil MRI ku.
Aku begitu lega mendengar itu. Aku memilih pulang ke kampung halaman untuk meyakinkan orang tua bahwa aku baik-baik saja. Dan, benar. Wajahku cerah, kulitku tak lagi kusam, dan nafsu makanku meningkat saat aku bersama orang tuaku. Jauh dari Jakarta, tempat aku dan kamu bertemu.
Sekembalinya aku ke Jakarta, kondisiku kembali menurun. Ku catat semua aktivitasku. Hanya kuliah dan kos. Tak ada yang lain. Aku merasa semakin menjadi berbeda.
“Jangan khawatir. Tidak apa-apa. Aku di sampingmu.” Kau membisikkan itu.
Malam ini, kau kembali berdiri di depan lemari pakaianku. Dengan pakaian yang sama, senyum yang sama. Aku mematikan lampu, mencoba tidur. Nimo, ikan di akuariumku tiba-tiba ribut. Kerang-kerang didalamnya ia aduk hingga berisik menendang-nendang akuarium. Aku pun menyalakan lampu. Dan, Nimo menjadi tenang. Ku perhatikan dirimu masih berdiri di situ. Aku ingin mengusirmu, namun aku entah kenapa kali ini aku tak punya banyak energi untuk berkomunikasi denganmu.
Aku memilih tidur dengan lampu menyala. Ku tarik selimut dan menutupi semua tubuhku dengan bantal. Kau mendekat dan beberapa menit kemudian memelukku. Semakin lama semakin erat. Aku mulai risih.
Kau tau aku tak suka. Kau mulai takut. Aku tau itu. Aku menunggu Subuh dengan mata terbelalak. Melawan pelukanmu dengan paksa hingga aku tak mampu bernafas. Azan berkumandang. Ya, saat azan..dan kau melepas pelukanmu.
Kurasa semakin tak lazim. Aku tak mampu mentolerir caramu. Aku memilih untuk mengusirmu secara paksa. Dan kau tau, aku tak mampu sendiri kali ini.
Ba’da maghrib.
“Besok saja. Ku mohon. Aku ingin dia. Aku mau dia. Aku ingin Nisya.” Aku mengucapkannya. Tapi, itu bukan aku.
Aku menangis dan teriak sekuat aku mampu untuk melawannya. Melawan segala bisikannya tentang rasa cinta yang terus ia jelaskan. Orang disekitarku mulai panik. Aku semakin tak terkendali. Aku tak biasanya begini.
Tubuhku lemas. Aku tak mampu berdiri. Dan dia pergi.
“Namanya Budi. Jin bujangan yang jatuh cinta ke Nisya. Dia sudah lama mengintai Nisya. Dia mulai cemburu sejak Nisya dekat dengan lelaki lain. Nisya punya kemampuan berkomunikasi dengan dia, tapi kali ini dia kalah.”
Sayup ku dengar suara lelaki berusia 40 tahunan itu. Benar, aku tau namanya namanya Budi. Aku tau dia mencintaiku. Tak lama, mataku terpejam.

(Kisah nyata, boleh percaya boleh nggak. Gw yang nulis aja percaya nggak percaya. Hehe..)

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *