Jika ingin berungkap cita rasa cinta yang terdiri dari pahit, manis, asem, asin, atau hambar sekalipun, maka my roommate-ku adalah konsultan handal dalam hal ini. Entah apa yang ada dalam cairan otak yang mengumuli otaknya, sehingga ia selalu berkesimpulan bahwa ‘cinta itu manis’. Buatku, cukup berpikir lebih dari 3 tahun dan sampai sekarang belum mampu menerima argument itu, but what ever, aku rasa memang dia pantas mengungkapkan itu.
Filisa, roommate-ku yang cukup komplek untuk diceritakan bagaimana karakteristiknya. Semenjak terdampar di Jakarta dan takdirpun mempermainkan kami sehingga kami bertemu dalam sebuah kamar dalam komplek kosan dengan menempati kamar paling depan, namun memiliki nomor kamar paling belakang. Nomor 8..!
Hampir tiap malam semenjak aku menjadi roommate-nya yang aku yakin paling cerewet dalam hal bersih, rapi, makan, kamar mandi atau apapun itu tentang kamar.., aku akan selalu mendengar curhatan hati tentang cinta darinya dengan kekasih hatinya sejak SMA itu. Jika dia selalu sabar dengan cerocosan kecerewetanku tentang kamar, maka aku selalu punya waktu untuk mendengar tangis, tawa, dan senyuman kisah cintanya.
“Cinta itu indah namun tak terdefenisi, Sya..” Itulah kalimat yang sering membuka dan menutup curhatan cintanya.
Sampai detik ini, aku tak mampu mengurai makna kalimat itu. Ahh, entahlah. Aku tak peduli, atau memang tak ingin peduli.
“Cinta itu seperti roda. Ketika senang, maka cinta akan begitu indah, berada di atas dan melupakan semua alasan duka dan tangis cinta. Melupakan kekesalan darinya,..ohh cinta begitu indahnya. Namun, ketika cinta itu benar-benar membuat menangis, ia mampu melupakan segala alasan ‘cinta’ yang menyatukan itu. Inilah ketika cinta itu berada di roda bagian bawah.”
Semakin bingung aku dibuat oleh filosofinya kali ini. Dengan suara datar plus senyuman yang entah apa makna senyuman itu, sambil memegang buku baruku berjudul ‘Opick, inspirasiku’, sekitar 10 menit yang lalu ia melontarkan filosofi itu. Dan dalam semenit kemudian, ia telah terbang ke dunia mimpi, membuat aku seperti orang gila terus memanggilnya dengan kondisi tangan berlagak masih membaca buku itu.
Huhh, aku pun serasa ingin mengobrak abrik buku itu. Halaman berapakah yang ia baca sampai-sampai mempunyai pemikiran macam itu..? Aku merasa tak ada korelasi antara judul buku itu dengan apa yang ia ungkapkan barusan. Mmm…
“Sya……..”
Akan ada dua makna ketika ia memanggilku.
Pertama.
Ketika kekencangan suaranya mencapai standard Hertz maksimum pita suaranya dengan mimik wajah kegirangan, senyum lebar, lalu mengguncang tubuhku, maka hipotesisku bahwa cintanya sedang berada di bagian roda atas tidak akan terbantahkan. 100 % kekasih hatinya itu pasti baru saja membuat hatinya serasa berada di taman bunga dengan iringan musik romantis. Cukup gampang menebak yang satu ini. Lalu dengan semangat, ia akan bercerita panjang kali lebar kali tinggi sama dengan volume keindahan cinta. Dan volume itu mencapai tanda ∞ (tak hingga) dalam satu kejadian itu.
“Dia baik banget hari ini.., Perhatian banget..ahhhh….” Ditutup dengan emot 😀 dari wajahnya.
Kedua.
Ketika kekencangan suaranya mencapai standard Hertz minimum pita suaranya dengan mimik wajah penuh kelesutan, seperti bunga ibu kost yang lupa disiram, maka hipotesisku bahwa cintanya sedang berada dibagian roda bawah jelas kebenarannya. 50×2 % lampu cinta dihatinya itu sedang redup. Tak susah juga untuk menebak kejadian ini. Sebab, aku telah melakukan riset dalam membaca situasi ini. Namun, biasanya ia tak langsung bercerita tentang volume kesedihan cintanya itu. Ia pasti langsung tidur atau memegangi “Relisya” boneka pemberian kekasihnya itu. Nah, keesokan harinyalah ia akan menjelaskan volume yang mengakibatkan roda cintanya itu berada dibawah.
“Ngeselin banget Sya.. Entah apa maunya. Udah capek pun aku..” Diawali dengan emot :’( dari wajahnya.
Namun, hanya dalam sehari ahh… tidak.., setengah hari malah ooh…, atau beberapa menit, roda cinta itu akan kembali ke atas dan senyuman keindahan cinta itu akan terpancar diwajahnya. Oohh, cinta….
“Tu kan Sya, kalau dia baik kaya gini, aku tu bisa lupa sama yang kemarin…” Jelasnya dengan senyum akibat kegilaan cinta.
“Haa..?” Twiwiwiwing keheranan dalam pikirku.
“Nah.., tu dia Sya.., memang cinta itu seperti roda” Lanjutnya dengan aroma cinta ‘tak jelas’ untukku.
Akhirnya aku mengerti kenapa buku ‘Opick, inspirasiku’ yang malam ini ia baca memberikan filosofi itu. Ternyata ia sudah sering mengatakannya. Hanya, baru malam inilah aku menganalisis filosofi itu.., namun hasilnya NOL. Aku tak mengerti…!
Ku yakin, saat membaca salah satu kisah cinta dalam buku itu, ia pasti merefleksikan kisah cintanya. Dan aku yang sedang bergelut dengan buku setebat 1348 halaman alias Intermediate Accounting seketika buyar konsentrasi akibat filosofi itu.
Data primer hasil risetku tentang cintanya, menunjukkan banyak sekali air mata, senyum, dan tawa yang dihasilkan dari cintanya itu. Jika aku refleksikan dengan grafik, tak jelas grafik itu right skewed, left skewed atau malah terdistribusi normal.
Sotoy nih!
Masih kecil mainnya cinta-cintaan…
Gw bilangin nenek lho!
dah 19 tahun…. ;p
sya di ajarin dinda.. hahhhaaa…