Dunia Tanpa Suara

Pukul enam pagi.
Aku terbangun dengan semangat lebih. Kutata rambutku dengan senyum lebar bersama matahari. Kebaya berwarna merah lengkap dengan selendang berwarna senada akan membawaku terbang tinggi hari ini.
Namanya Ibu Leony. Cantik, anggun, dan jarinya lentik. Aku suka ketika jari-jarinya membentuk lingkaran di udara dengan gemulai. Senyum indahnya membuatku tetap tenang, walau kadang sepertinya aku terjatuh, atau jatuh. Ibu Leony bilang, aku bisa jadi Merak. Sayapku indah, gerakanku menggema, senyumku melanglang buana, dan anggunku memeluk hati dengan irama. Dan, aku percaya.
Aku dan tiga temanku sudah siap. Dua bersayap hijau, dua bersayap merah.
Namaku Lia, izinkan aku terbang pagi ini.
Dua minggu lalu, beberapa kakak dengan tinggi hampir sama denganku menghampiri sekolah. Aku tak tahu apa yang mereka katakan. Susah untukku memahami kata perkata. Tapi yang pasti, aku tahu mereka orang baik.
Ada yang mengenakan kemeja rapi. Ada yang tersenyum lebar dengan jas putih. Ada yang membawa pesawat kecil kemana-mana. Ada juga yang mengenakan rok rapi lengkap dengan polesan wajah yang cantik. Ada yang membawa kardus bertuliskan ‘BANK’.
Ada yang mengenakan kaos pink dibalut jaket hijau persis orang yang suka berkeliling di hutan. Aku bingung mengapa dia berpakaian seperti itu. Ada juga yang membawa gitar dengan topi unik yang aku tak tahu apa namanya. Ada yang membawa topeng aneh menutupi hidung yang aku tak tahu apa fungsinya. Ada yang membawa tali panjang menjulur di dua sisi tubuhnya dengan angka berjejer. Aku pernah melihat benda itu ketika Ibu Leony mengukur tinggiku untuk kebaya yang aku kenakan hari ini.
Aku dan teman-teman sekolahku dibagi menjadi beberapa kelompok. Begitupun dengan kakak-kakak berpakaian unik itu. Berjarak beberapa meter mengelilingi lapangan sekolah, ada tempat-tempat teduh lengkap dengan peralatannya. Mereka menyebutnya pos. Namun, tiapnya berbeda jenis dan model. Walaupun aku bingung, aku suka. Kelas hari ini berbeda. Dan, aku suka senyum mereka.  
Ada Bapak Ibu guru yang mendampingi kami. Dengan terbata, kami mencoba memahami maksud kegiatan yang akan berlangsung. Aku bingung menjelaskannya. Tapi, aku dan teman-temanku harus mengelilingi semua pos yang ada dengan kakak yang berbeda.
Hampir jam dua belas siang. Aku sampai pada pos bersama kakak yang membawa tali dengan angka-angka. Kakak cantik itu mengajariku membuat baju dari kertas. Dan aku mengenakannya hingga aku pulang sekolah.
Kakak yang mengenakan topeng menutup hidung juga aku datangi. Perlahan aku paham bahwa itu berfungsi untuk tetap bernafas. Aku hanya bingung di mana aku harus mengenakannya.
Ada juga kakak yang menerbangkan pesawat sebesar ukuran tangan ayahku. Riuh teman-teman membuatku tak terlalu paham apa yang dijelaskannya. Tapi, aku tetap suka.
Hari ini aku bertemu kembali dengan mereka.
Dengan senyum yang masih sama, mereka menyapaku ramah. Jumlah kakak yang hadir lebih banyak. Tapi, aku tak menemukan lagi jenis pakaian banyak rupa. Kali ini, bahkan mereka mengenakan pakaian yang hampir sama modelnya.
Pukul sepuluh lewat lima belas menit.
Jantungku berdegup lebih kencang. Beberapa menit lagi, aku akan mengepakkan sayapku. Sulit kujelaskan, tapi momen ini selalu kutunggu.
Ibu Leony mulai memberi isyarat. Jari lentiknya membentuk lingkaran, berayun kanan kiri, dan bertepuk tangan memberi instruksi. Kakak-kakak bertepuk tangan riuh. Aku dan tiga rekanku berjalan dan membentuk formasi di atas panggung.
Kukepakkan sayapku mengikuti alunan jari lentik Ibu Leony. Kepalaku mengikuti gerak tubuh melenggok kanan kiri. Kakiku menghentak-hentak pelan seirama sayapku. Senyumku membuncah. Aku terbang.
Beberapa kakak merekamku dengan handphonedan kamera. Ada juga yang berdiri antusias dengan tepuk tangan dan senyum lebar. Ada yang menutupi wajahnya dengan tissue. Aku ingin bilang, “Kak, mari terbang bersamaku.”
Duniaku tanpa suara. Aku tak dapat mendengar irama musik yang menemaniku menari. Aku tak mampu mendengar tepuk tangan yang sedari tadi mengisi ruangan. Tapi, aku suka senyum mereka. Aku juga tahu, mereka menyukaiku. Dunia ini cukup bagiku.
“Apa cita-cita kamu ketika nanti dewasa, Lia?” Ibu Leony bertanya ketika aku selesai pada gerakan Tari Merak yang aku sukai itu.
Dengan gerakan tangan dan teriakan paling kencang yang aku punya, aku menjawab ‘tidak tahu’. Iya, aku tidak tahu akan menjadi apa nanti. Tapi, aku ingin bisa membuat kebayaku sendiri. Aku ingin punya sayap merah dengan pola berwarna emas sendiri. Aku juga ingin naik pesawat. Aku ingin melihat angkasa dan menyampaikan padanya, “Aku ingin terus menari. Aku ingin terbang tinggi.”
Terimakasih Kelas Inspirasi Jakarta
@gizsyaresha
04.44 – 27.08.17

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *