Bukan Alasan, tapi Batasan

“Harus dicoba, Nei..”
“Dicoba? Itu keteguhan hati Kak.. tentang agama, pegangan hidup. Nggak bisa dicoba-coba”
“Tapi dia bilang ke kakak kalau dia rela masuk Islam, Nei..”
“Islam itu agama yang indah Kak. Agama yang tulus. Bukan sebuah paksaan..”
“Dia nggak terpaksa, Nei”
“Bukan terpaksa apanya? Dia mau masuk islam karena aku,  kan?”
“Apa itu salah?”
“Salah Kak Gun.. Itu salah..”
“Lihat, kamu dah berhasil bikin dia mutusin delapan pacarnya sekaligus. Sebelum kenal ma kamu, dia tu pacaran sama sekaligus delapan cewek Nei. Delapan..!”
“Aku nggak pernah minta dia buat ngelakuin itu, Kak..”
“Tapi, dia ngelakuin itu buat kamu Nei.. “
“Terus..?”
“Ajak dia masuk Islam, Nei..”
“Nggak Kak..”
“Dia bilang, dia bersedia. Lihat, inget sama Tuhannya juga enggak tu anak. Paling cuma kalau imlekan doank. Tanya aja, berapa kali dia ke vihara dalam sebulan? Atau, apa pernah dia berdoa?”
“Kita nggak berhak men-judge dia Kak. Dia nggak harus ngelapor ke Kakak kalau dia lagi berdoa, kan? Tuhan itu di hati Kak..,” Aku memegang dadaku. “Disini. Tuhan hadir ditiap aliran darah kita Kak, bahkan lebih dekat daripada nadi. Mengingat Tuhan tak harus dengan kata-kata apalagi mengumbarnya Kak. Hanya kita yang tau..”
“Itu yang nggak dia tau, Nei. Dia nggak tau makna Tuhan sekalipun.”
“Terus dengan aku ngajak dia ke Islam, dia bakal mengenal Allah dengan baik..?”
“Kenapa enggak..?”
“Dia masuk Islam karena dia cinta ke aku, bukan karena cintanya pada Allah. Apa dia akan menjadi Islam?”
Kak Gun terdiam.
“Kalau dengan masuknya dia ke Islam, lalu dia meminta aku buat menjadi muhrimnya, gimana? Dan aku harus hidup dengan orang yang mencintai aku lebih dalam daripada cintanya pada Allah? Nggak Kak..!”
“Minimal dia masuk Islam, Nei..”
“Emangnya Islam hanya sebuah syahadat dengan nama Allah dan Rasulullah? Enggak Kak..”
“Terus, kamu akan biarin dia dengan tingkahnya itu?”
“Tingkah yang mana?”
“Dia nggak playboy lagi. Dia juga mau ngelanjutin kuliahnya buat kamu, Nei..”
“Aku nggak pernah minta itu semua, Kak. Kakak kan yang ngasi tau dia buat kayak gitu? Bukan aku. Waktu dia ngungkapin cinta, aku langsung nolak dia, Kak..”
“Dan dia nganggap kalau alasannya itu karena kalian beda.”
“Itu bukan alasan, Kak, tapi batasan. Dia Buddha, aku Islam. Tak bisa diganggu gugat.”
“Nah, itu dia..,bantu dia ke Islam..”
“Kalau memang dia akan masuk Islam, itu harus karena hidayah dari Allah, Kak, karena ketulusan hatinya dalam cinta Allah. Bukan cintanya karena aku. Agama bukan permainan, Kak. Bukan syarat, tapi mutlak. Islam tak pernah memaksa dan kita nggak berhak maksa dia buat masuk ke Islam. Jika sudah memang takdirnya, dia akan merasakan kenyamanan Islam hingga ke relung hati terdalam atas nama Allah. Dan itu, bukan karena aku dan untuk aku. Tapi, oleh dia dan untuk dia, karena Allah..!”
Kak Gun terdiam dan aku segera berlalu tak ingin melanjutkan perdebatan ini. Aku memang bukan gadis dengan kerudung panjang. Jilbab juga  belum aku kenakan setiap hari. Namun, karena Kak Ega penganut Buddha itulah aku malah mengenakan jilbab dengan sepenuh hatiku. Tak ingin aku terulang kedua kalinya. Aku tak ingin ada lagi yang menganggap bahwa aku keturunan Tionghoa penganut Buddha karena anugerah mata sipit dan kulit putihku. Aku Islam. Bukan hanya identitas, namun pegangan hidupku.
Untuk Kak Ega. Antara Buddha dan Islam, itu bukan alasan aku untuk menolak perasaan cinta Kakak. Itu sebuah batasan yang tak akan pernah aku langgar.
Jumat, July 1st 2011
04.31 a.m.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *